KEBERADAAN pesantren

Senin, 19 April 2010

KEBERADAAN pesantren, tak bisa lepas dari kondisi dan dinamika yang berkembang di masyarakat setempat. Apalagi bila melongok proses penyebaran Islam di Indonesia yang dirintis Walisanga, metodenya sangat lentur terhadap budaya dan dinamika yang terjadi. Drs KH Hamrolie Harun MSc mengatakan, keberadaan pesantren serta majelis dakwah tak bisa lepas dari budaya. "Pendekatan budaya merupakan strategi pesantren untuk menjalankan perannya di masyarakat. Peran utama pesantren adalah memberdayakan masyarakat. Terutama pemberdayaan nilai-nilai religius mereka", katanya. Menyadari betapa pentingnya peran budaya sebagai media pengembangan dakwah, pengasuh Majelis Mujahadah Al Fatah Sedayu Bantul ini selalu mengedepankan pendekatan budaya dalam membangun jaringan dakwah. Maka ketika Poco-poco sedang naik daun, Kiai Hamrolie mengajak para jamaahnya senam bersama. Kiai yang juga konsultan perpajakan ini menjelaskan, dulu ketika para wali berdakwah, pendekatannya dengan metode budaya. Ternyata, hasilnya luar biasa. Ini fakta yang tak bisa dipungkiri. Para santri Al Fatah juga diberi pemahaman tentang sejarah dan budaya. Bahkan mereka diajak napak tilas di tempat-tempat bersejarah. "Tujuannya agar mereka mewarisi semangat serta metode dakwah yang dijalankan para aulia", jelasnya. Wibie Mahardika, pengurus Majelis Mujahadah Jantika Mantab berpendapat, perkembangan dakwah tak bisa dilepaskan dari peran budaya. "Agama dan budaya itu ibarat sudah manunggal. Budaya sebagai perwujudan fisik. Sedangkan agama menjadi ruh yang menjiwai dan menyinari hati setiap umat", katanya. Santri kiai kharismatik Gus Mik (alm) ini menambahkan, budaya sangat dinamis dan penciptaannya selalu tak sempurna. Manusia sebagai pencipta budaya, selalu berikhtiar menyempurnakan karyanya. Maka ketika berdakwah dengan pendekatan budaya, harus pula fleksibel. Mengikuti perkembangan yang terjadi. Termasuk menyentuh budaya modern. "Semua sudah tersegmentasi. Antara budaya tradisional dan modern. Untuk mendekati komunitas modern, ya harus menggunakan budaya modern", katanya. Program yang diluncurkan Wibie dalam rangka berdakwah di masyarakat gaul adalah dengan Ashabul CafÈ. "Saat ini kafe identik dengan anak muda. Kita mencoba mengubah budaya kafe yang kadang ada sisi buruknya, menjadi kebiasaan yang positif dan religius. "Untuk intrance tidak harus dengan minum ekstasi. Ashabul Kafe mengajak orang bisa triping karena zikir. Bukan karena narkoba", jelasnya. MESKI berada dalam lingkup khusus (pesantren), santri tetap bagian dari masyarakat. Maka hal-hal yang dilakukan, di luar pembelajaran agama, tak lepas dari konvensi masyarakat pada umumnya. Bukan hal aneh jika pesantren juga mengusung hal-hal bernuansa seni budaya, untuk melengkapi materi dalam menggembleng mental dan kemampuan santri. Di Yogya, Pesantren Wahid Hasyim termasuk modern. Fokusnya membelajari santri dengan sistem klasikal. Santri belajar ilmu formal dan ilmu agama. Namun nilai-nilai budaya tetap diberikan. Kesenian hadrah, misalnya. Dalam sejarahnya, hadrah termasuk kesenian yang muncul dan besar di pesantren. Tidak aneh jika banyak pesantren sekarang, mewarisinya. Pun Pesantren Wahid Hasyim. Awalnya sebagai ajang berekspresi santri. Namun dalam perkembangannya, hadrah pesantren di Dusun Gaten Condongcatur Sleman ini bisa menjadi media dakwah yang efektif. Beberapa kali pentas di luar pesantren, di luar Yogya. Dan yang mengejutkan, sempat manggung di gereja. Dua kali. "Kita mendapat undangan. Ya, kita tampil di situ", ujar Ustadz Imam Chumedi S.Ag, wakil kepala madrasah diniyah Pesantren Wahid Hasyim. Pengembangan budaya di pesantren tersebut, jelas menguntungkan. Nama pesantren mumbul. Masyarakat jadi tahu, ternyata para santri juga mahir berkesenian. Di Pesantren Hasyim Asy'ari Bantul, nilai-nilai budaya berhembus kencang. Pindah lokasi (sebelumnya di Ring Road Utara, lalu di Minggiran Yogya) ke Cabeyan Sewon Bantul, makin mengental nuansa budaya di pesantren yang didirikan KH Zainal Arifin Thoha (alm) itu. Santri --yang mayoritas mahasiswa-- bisa berinteraksi sosial dengan masyarakat. Dan peristiwa budaya pun terjadi di situ, secara tidak langsung. Tidak sengaja. Dalam kurikulum pembelajaran, seni budaya menjadi salah satu andalan. Seperti di pesantren lain, awalnya hanya mengaji yang jadi fokus. Seiring bergulirnya waktu, seni budaya pun dibidik. Santri berkesenian. "Jika kesenian ada di sini, semata menampung bakat santri. Ekspresi positif mereka tersalurkan", ujar Maya Veri Oktavia, Dewan Pengasuh Pesantren Hasyim Asy'ari. Berbeda dengan pesantren pada umumnya --yang sering mengedepankan hadrah atau kasidah-- kesenian di Pesantren Hasyim Asy'ari selangkah lebih maju. "Memusikalisasikan puisi. Digarap bersama. Kadang mengangkat salawat", tambah Maya. Atmosfir seni budaya di Pesantren Hasyim Asy'ari, memunculkan banyak manfaat. Santri Hasyim Asy'ari banyak yang menjadi penulis: penyair, esais dan cerpenis. Karyanya tersebar di berbagai media. Fenomena ini tentu saja menyejukkan, plus membanggakan. Menurut Maya, ada santri yang awalnya tidak paham dunia sastra. Namun setelah berinteraksi dengan santri lain, ditambah 'terprovokasi' keberhasilan teman --karyanya dimuat media massa-- akhirnya ikut-ikutan belajar sastra. Realitas itu tentu saja patut distabilo. Pesantren lain rasanya juga perlu melakukan hal senada. Jika di pesantren sudah berhembus nuansa seni budaya, santri tentu akan tergiring mengikuti. Hal yang positif. Karena seni budaya merupakan ciri peradaban manusia. (o) n Daryanto/Latief

SANG HARIMAU DARI PLOSO KEDIRI

Dialah Mas’ud, yang mendapat julukan Blawong dari KH. Zainuddin. Kelak dikemudian hari ia lebih dikenal dengan nama KH. Achmad Djazuli Utsman, pendiri dan pengasuh I Pondok Pesantren Al-Falah, Ploso, Kediri. Diam-diam KH. Zainuddin memperhatikan gerak-gerik santri baru yang berasal dari Ploso itu. Dalam satu kesempatan, sang pengasuh pesantren bertemu Mas’ud memerintahkan untuk tinggal di dalam pondok.“Co, endang ning pondok!”“Kulo mboten gadah sangu, Pak Kyai.”“Ayo, Co…mbesok kowe arep dadi Blawong, Co!”Mas’ud yang tidak mengerti apa artinya Blawong, hanya diam saja. Setelah tiga kali meminta, barulah Mas’ud menurut perintah Kyai Zainuddin untuk tinggal di dalam bilik pondok. Sejak itulah, Mas’ud kerap mendapat julukan Blawong.Ternyata Blawong adalah burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu. Si Blawong itu dipelihara dengan mulia di istana Kerajaan Bawijaya. Alunan suaranya mengagumkan, tidak ada seorang pun yang berkata-kata tatkala Blawong sedang berkicau, semua menyimak suaranya. Seolah burung itu punya karisma yang luar biasa. Ia lahir di awal abad XIX, tepatnya tanggal 16 Mei 1900 M. Ia adalah anak Raden Mas M. Utsman seorang Onder Distrik (penghulu kecamatan). Sebagai anak bangsawan, Mas’ud beruntung, karena ia bisa mengenyam pendidikan sekolah formal seperti SR, MULO, HIS bahkan sampai dapat duduk di tingkat perguruan tinggi STOVIA (Fakultas Kedokteran UI sekarang) di Batavia.Belum lama Mas’ud menempuh pendidikan di STOVIA, tak lama berselang Pak Naib, demikian panggilan akrab RM Utsman kedatangan tamu, KH. Ma’ruf (Kedunglo) yang dikenal sebagai murid Kyai Kholil, Bangkalan (Madura). “Pundi Mas’ud?” tanya Kyai Ma’ruf.“Ke Batavia. Dia sekolah di jurusan kedokteran,” jawab Ayah Mas’ud.“Saene Mas’ud dipun aturi wangsul. Larene niku ingkang paroyogi dipun lebetaken pondok (Sebaiknya ia dipanggil pulang. Anak itu cocoknya dimasukan ke pondok pesantren),” kata Kyai Ma’ruf. Mendapat perintah dari seorang ulama yang sangat dihormatinya itu, Pak Naib kemudian mengirim surat ke Batavia meminta Mas’ud untuk pulang ke Ploso, Kediri. Sebagai anak yang berbakti ia pun kemudian pulang ke Kediri dan mulai belajar dari pesantren ke pesantren yang lainnya yang ada di sekitar karsidenan Kediri. Mas’ud mengawali masuk pesantren Gondanglegi di Nganjuk yang diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh. Di pesantren ini ia mendalami ilmu-ilmu yang berkaitan dengan Al-Qur’an, khususnya tajwid dan kitab Jurumiyah yang berisi tata bahasa Arab dasar (Nahwu) selama 6 bulan.Setelah menguasai ilmu Nahwu, Mas’ud yang dikenal sejak usia muda itu gemar menuntut ilmu kemudian memperdalam pelajaran tashrifan (ilmu Shorof) selama setahun di Pondok Sono (Sidoarjo). Ia juga sempat mondok di Sekarputih, Nganjuk yang diasuh KH. Abdul Rohman. Hingga akhirnya ia nyantri ke pondok yang didirikan oleh KH. Ali Imron di Mojosari, Nganjuk dan pada waktu itu diasuh oleh KH. Zainuddin. KH. Zainuddin dikenal banyak melahirkan ulama besar, semacam KH. Wahhab Hasbullah (Pendiri NU dan Rais Am setelah KH. Hasjim Asy’ari), Mas’ud yang waktu itu telah kehabisan bekal untuk tinggal di dalam pondok kemudian mukim di langgar pucung (musala yang terletak tidak jauh pondok).Selama di Pondok Mojosari, Mas’ud hidup sangat sederhana. Bekal lima rupiah sebulan, dirasa sangat jauh dari standar kehidupan santri yang pada waktu rata-rata Rp 10,-. Setiap hari, ia hanya makan satu lepek (piring kecil) dengan lauk pauk sayur ontong (jantung) pisang atau daun luntas yang dioleskan pada sambal kluwak. Sungguh jauh dikatakan nikmat apalagi lezat.Di tengah kehidupan yang makin sulit itu, Pak Naib Utsman, ayah tercinta meninggal. Untuk menompang biaya hidup di pondok, Mas’ud membeli kitab-kitab kuning masih kosong lalu ia memberi makna yang sangat jelas dan mudah dibaca. Satu kitab kecil semacam Fathul Qorib, ia jual Rp 2,5,-(seringgit), hasil yang lumayan untuk membiayai hidup selama 15 hari di pondok itu. Setelah empat mondok di Mojosari, Mas’ud kemudian dijodohkan dengan Ning Badriyah putri Kyai Khozin, Widang, Tuban (ipar Kyai Zainuddin). Namun rupa-rupanya antara Kyai Khozin dan Kyai Zainuddin saling berebut pengaruh agar Mas’ud mengajar di pondoknya. Di tengah kebingungan itulah, Mas’ud berangkat haji sekaligus menuntut ilmu langsung di Mekkah. H. Djazuli, demikian nama panggilan namanya setelah sempurna menunaikan ibadah haji. Selama di tanah suci, ia berguru pada Syeikh Al-‘Alamah Al-Alaydrus di Jabal Hindi. Namun, ia di sana tidak begitu lama, hanya sekitar dua tahun saja, karena ada kudeta yang dilancarkan oleh kelompok Wahabi pada tahun 1922 yang diprakasai Pangeran Abdul Aziz As-Su’ud.Di tengah berkecamuknya perang saudara itu, H. Djazuli bersama 5 teman lainnya berziarah ke makam Rasulullah SAW di Madinah. Sampai akhirnya H. Djazuli dan kawan-kawannya itu ditangkap oleh pihak keamanan Madinah dan dipaksa pulang lewat pengurusan konsulat Belanda.Sepulang dari tanah suci, Mas’ud kemudian pulang ke tanah kelahirannya, Ploso dan hanya membawa sebuah kitab yakni Dalailul Khairat. Selang satu tahun kemudian, 1923 ia meneruskan nyantri ke Tebuireng Jombang untuk memperdalam ilmu hadits di bawah bimbingan langsung Hadirotusy Syekh KH. Hasjim Asya’ri. Tatkala H. Djazuli sampai di Tebuireng dan sowan ke KH. Hasjim Asya’ri untuk belajar, Al-Hadirotusy Syekh sudah tahu siapa Djazuli yang sebenarnya, ”Kamu tidak usah mengaji, mengajar saja di sini.” H. Djazuli kemudian mengajar Jalalain, bahkan ia kerap mewakili Tebuireng dalam bahtsul masa’il (seminar) yang diselenggarakan di Kenes, Semarang, Surabaya dan sebagainya. Setelah dirasa cukup, ia kemudian melanjutkan ke Pesantren Tremas yang diasuh KH. Ahmad Dimyathi (adik kandung Syeikh Mahfudz Attarmasiy). Tak berapa lama kemudian ia pulang ke kampung halaman, Ploso. Sekian lama Djazuli menghimpun “air keilmuan dan keagamaan”. Ibarat telaga, telah penuh. Saatnya mengalirkan air ilmu pegetahuan ke masyakrat. Dengan modak tekad yang kuat untuk menanggulangi kebodohan dan kedzoliman, ia mengembangkan ilmu yang dimilikinya dengan jalan mengadakan pengajian-pengajian kepada masyarakat Ploso dan sekitarnya. Hari demi hari ia lalui dengan semangat istiqamah menyiarkan agama Islam.Hal ini menarik simpati masyakarat untuk berguru kepadanya. Sampai akhirnya ia mulai merintis sarana tempat belajar untuk menampung murid-murid yang saling berdatangan. Pada awalnya hanya dua orang, lama kelamaan berkembang menjadi 12 orang. Hingga pada akhir tahun 1940-an, jumlah santri telah berkembang menjadi sekitar 200 santri dari berbagai pelosok Indonesia.Pada jaman Jepang, ia pernah menjabat sebagai wakil Sacok (Camat). Di mana pada siang hari ia mengenakan celana Goni untuk mengadakan grebegan dan rampasan padi dan hasil bumi ke desa-desa. Kalau malam, ia gelisah bagaimana melepaskan diri dari paksaan Jepang yang kejam dan biadab itu.Kekejaman dan kebiadaban Jepang mencapai puncaknya sehingga para santri selalu diawasi gerak-geriknya, bahkan mereka mendapat giliran tugas demi kepentingan Jepang. Kalau datang waktu siang, para santri aktif latihan tasio (baris berbaris) bahkan pernah menjadi Juara se-Kecamatan Mojo. Tapi kalau malam mereka menyusun siasat untuk melawan Jepang. Demikian pula setelah Jepang takluk, para santri kemudian menghimpun diri dalam barisan tentara Hisbullah untuk berjuang.Selepas perang kemerdekaan, pesantren Al-Falah baru bisa berbenah. Pada tahun 1950 jumlah santri yang datang telah mencapai 400 santri. Perluasan dan pengembangan pondok pesantren, persis meniru kepada Sistem Tebuireng pada tahun 1923. Suatu sistem yang dikagumi dan ditimba Kyai Djazuli selama mondok di sana.Sampai di akhir hayat, KH. Ahmad Djazuli Utsman dikenal istiqomah dalam mengajar kepada santri-santrinya. Saat memasuki usia senja, Kyai Djazuli mengajar kitab Al-Hikam (tasawuf) secara periodik setiap malam Jum’at bersama KH. Abdul Madjid dan KH. Mundzir. Bahkan sekalipun dalam keadaan sakit, beliau tetap mendampingi santri-santri yang belajar kepadanya. Riyadloh yang ia amalkan memang sangat sederhana namun mempunyai makna yang dalam. Beliau memang tidak mengamalkan wiridan-wiridan tertentu. Thoriqoh Kyai Djazuli hanyalah belajar dan mengajar “Ana thoriqoh ta’lim wa ta’allum,”katanya berulangkali kepada para santri.Hingga akhirnya Allah SWT berkehendak memanggil sang Blawong kehadapan-Nya, hari Sabtu Wage 10 Januari 1976 (10 Muharam 1396 H). Beliau meninggalkan 5 orang putra dan 1 putri dari buah perkawinannya dengan Nyai Rodliyah, yakni KH. Achmad Zainuddin, KH. Nurul Huda, KH. Chamim (Gus Miek), KH. Fuad Mun’im, KH. Munif dan Ibu Nyai Hj. Lailatus Badriyah. Ribuan umat mengiringi prosesi pemakaman sosok pemimpin dan ulama itu di sebelah masjid kenaiban, Ploso, Kediri.Konon, sebagian anak-anak kecil di Ploso, saat jelang kematian KH. Djazuli, melihat langit bertabur kembang. Langit pun seolah berduka dengan kepergian ‘Sang Blawong’ yang mengajarkan banyak keluhuran dan budi pekerti kepada santri-santrinya itu.

WALIYULLAH MBAH KYAI DALHAR WATUCONGOL

Ketika penulis melihat – lihat di internet, penulis banyak menemui tulisan – tulisan yang mengenang tentang sosok figure salah seorang kakek buyut penulis yaitu Mbah Kyai Dalhar, Watucongol. Begitu masyarakat luas akrab memanggilnya. Penulis berterima kasih pada para pecinta beliau yang telah berkenan merekam sebagian dari jejak – jejak manaqibnya, sekalipun tulisan – tulisan tersebut nampaknya masih belum mengemukakan syakhsiyahnya secara utuh.

Berikut ini adalah ringkasan manaqib beliau yang penulis peroleh dari keterangan keluarga. Terutama kakek penulis yaitu KH Ahmad Abdul Haq dan beberapa petikan catatan yang penulis peroleh dari catatan – catatan Mbah Kyai Dalhar.

Kelahiran & Nasabnya
Mbah Kyai Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H atau 10 Syawal 1798 – Je (12 Januari 1870 M). Ketika lahir beliau diberi nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo. Kyai Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kyai Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh karenanya sebagai keturunan raja, Kyai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.

Diriwayatkan, Kyai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena beliau memang lebih senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan waktu baru diketahui jika beliau hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta. Sekarang desa tempat beliau tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko. Sementara itu salah seorang putera beliau yang bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan kemampuan beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.

Dalam gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang dari penjajahan secara habis – habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure – figure yang dapat membantu perjuangan beliau melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad dimasyarakat. Menilik dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu maka diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kyai Abdurrauf.

Pesantren Kyai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abdurrahman. Namun letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kyai Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kyai Abdurrahman) hanya saja letaknya juga dieser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu Congol. Adapun kisah ini ada uraiannya secara tersendiri.

Ta’lim dan rihlahnya
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan pesantren. Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak – kanaknya, beliau belajar Al-Qur’an dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu Kyai Abdurrahman. Menginjak usia 13 tahun, mbah Kyai Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan oleh sang ayah pada Mbah Kyai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Disini beliau belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.

Sesudah dari Salaman, mbah Kyai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Saat itu beliau berusia 15 tahun. Oleh ayahnya, mbah Kyai Dalhar diserahkan pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Delapan tahun mbah Kyai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama di pesantren beliau berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayah beliau sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.

Kurang lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kyai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah menarik yang perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kyai Dalhar pada gurunya. Namun akan kita tulis pada segmen lainnya.

Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada shahib beliau yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah Kyai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan Tanjung Mas, Semarang. Dikisahkan selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian lanjut sampai di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kyai Dalhar kepada putera gurunya, beliau memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid Abdurrahman. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kyai Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah Kyai Dalhar. Subhanallah.

Sesampainya di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kyai Dalhar dan Sayid Abdurrahman tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal) Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid Abdurrahman dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena beliau diminta oleh gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah dan Madinah dari serangan sekutu. Sementara itu mbah Kyai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut hingga mencapai waktu 25 tahun.

Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kyai Dalhar. Hingga ahirnya beliau memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama asli beliau. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah Kyai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama pemberian sang guru yaitu Mbah Kyai “Dalhar”. Allahu Akbar.

Ketika berada di Hejaz inilah mbah Kyai Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan nama beliau di Jawa.

Riyadhah dan amaliahnya
Mbah Kyai Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Sehingga pantas saja jika menurut riwayat shahih yang berasal dari para ulama ahli hakikat sahabat – sahabatnya, beliau adalah orang yang amat akrab dengan nabiyullah Khidhr as. Sampai – sampai ada putera beliau yang diberi nama Khidr karena tafaullan dengan nabiyullah tersebut. Sayang putera beliau ini yang cukup ‘alim walau masih amat muda dikehendaki kembali oleh Allah Swt ketika usianya belum menginjak dewasa.

Selama di tanah suci, mbah Kyai Dalhar pernah melakukan khalwat selama 3 tahun disuatu goa yang teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya. Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kyai Dalhar tidak pernah buang air kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat, beliau lari keluar tanah Haram.

Selain mengamalkan dzikir jahr ‘ala thariqatis syadziliyyah, mbah Kyai Dalhar juga senang melakukan dzikir sirr. Ketika sudah tagharruq dengan dzikir sirnya ini, mbah Kyai Dalhar dapat mencapai 3 hari 3 malam tak dapat diganggu oleh siapapun. Dalam hal thariqah As-Syadziliyyah ini menurut kakek penulis KH Ahmad Abdul Haq, beliau mbah Kyai Dalhar menurunkan ijazah kemursyidan hanya kepada 3 orang. Yaitu, Kyai Iskandar, Salatiga ; KH Dimyathi, Banten ; dan kakek penulis sendiri yaitu KH Ahmad Abdul Haq.

Sahrallayal (meninggalkan tidur malam) adalah juga bagian dari riyadhah mbah Kyai Dalhar. Sampai dengan sekarang, meninggalkan tidur malam ini menjadi bagian adat kebiasaan yang berlaku bagi para putera – putera di Watucongol.

Karamahnya
Sebagai seorang auliyaillah, mbah Kyai Dalhar mempunyai banyak karamah. Diantara karamah yang dimiliki oleh beliau ialah :
Suaranya apabila memberikan pengajian dapat didengar sampai jarak sekitar 300 meter walau tidak menggunakan pengeras suara
Mengetahui makam – makam auliyaillah yang sempat dilupakan oleh para ahli, santri atau masyarakat sekitar dimana beliau – beliau tersebut pernah bertempat tinggal
Dll

Karya – karyanya
Karya mbah Kyai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah Kitab Tanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh As-Sayid Abil Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani, imam thariqah As-Syadziliyyah. Selain daripada itu sementara ini masih dalam penelitian. Karena salah sebuah karya tulis tentang sharaf yang sempat diduga sebagai karya beliau setelah ditashih kepada KH Ahmad Abdul Haq ternyata yang benar adalah kitab sharaf susunan Syeikh As-Sayid Mahfudz bin Abdurrahman Somalangu. Karena beliau pernah mengajar di Watucongol, setelah menyusun kitab tersebut di Tremas. Dimana pada saat tersebut belum muncul tashrifan ala Jombang.

Murid – muridnya
Banyak sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepada beliau semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll.

Wafatnya
Sesudah mengalami sakit selama kurang lebih 3 tahun, Mbah Kyai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 – Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M. Ada yang meriwayatkan jika beliau wafat pada 23 Ramadhan 1959. Akan tetapi 23 Ramadhan 1959 bukanlah hari Rabu namun jatuh hari Kamis Pahing. Menurut kakek penulis yaitu KH Ahmad Abdul Haq (putera laki-laki mbah Kyai Dalhar), yang benar mbah Kyai Dalhar itu wafat pada hari Rabu Pon.

Demikianlah manaqib singkat yang sebenarnya ditulis semoga menjadikan faham pada semua pihak. Penulis adalah cucu dari Mbah Kyai Dalhar dari jalur ibu. Adapun nasabnya yang sampai pada beliau dengan tartib adalah ibu penulis sendiri bernama Fitriyati binti KH Ahmad Abdul Haq bin KH Nahrowi Dalhar.

PUASA DAWUD ATAU DAUD

Nabi Dawud AS, King David, salah kaprah ditulis dengan tanpa huruf W: Daud, padahal dalam Bahasa Arab penulisannya memakai huruf Wawu dan memakai huruf V dalam Bahasa Inggris. Nabi sekaligus raja ini ditakdirkan Allah tak pernah kalah dalam peperangan. Raja Jalut, atau Goliat yang besar-kekar-perkasa pun tewas dalam perang tanding melawan Dawud AS / David yang mungil. Sampai kini, kalau ada pertarungan si Besar lawan si Kecil, selalu diingatkan mengenai kisah legendaris ini.Nabi Dawud AS berputra Nabi Sulaiman AS (King Salomon) yang terkenal sebagai raja paling bijaksana sepanjang masa. Sulaiman AS juga dapat berbicara dengan hewan dan makhluk lainnya. Demikian Al Qur'an mengabarkan kepada kita.


Berbagai riwayat menginformasikan, Nabi Dawud AS memiliki sekitar 300 istri, sedangkan Nabi Sulaiman AS memiliki 600 permaisuri dan 400 selir. Riwayat lain mengatakan, jika Nabi Dawud AS membaca kitab Zabur, semua makhluk Allah terpukau kemerduannya. Bahkan burung yang tengah terbang di udara, air yang hendak menetes, angin yang tengah bertiup seketika berhenti di tempatnya bak terkena sihir kemerduan suara Sang Nabi. Ada pula yang meriwayatkan, ketika beliau beribadah, yakni meniup seruling sambil menari, seketika alam semesta takjub menyaksikannya.

Salah satu warisan Nabi Dawud AS yang sampai kepada kita ialah kebiasaan beliau dalam berpuasa. Rasulullah Muhammad SAW kurang-lebih telah bersabda: sebaik-baik puasa (sunat) ialah puasanya saudaraku Dawud, yakni sehari puasa sehari berbuka. Demikianlah, di kalangan santri pesantren tradisional, Puasa Dawud ini menjadi salah satu alternatif selain puasa Senin-Kamis, Hari Putih (tg 13-14-15), dll. Almaghfurlah KH. Daldiri Lempunyangan Yogya, yang kini diteruskan KH Misbahul Munir (ada yang memanggil Gus Misbah, tapi lebih suka dipanggil Kang Misbah) beserta ratusan barisan santri beliau yang umumnya penghapal Qur'an, punya kebiasaan mengamalkan Puasa Dawud ini. Ada yang menjalankan selama 3 tahun, 5 tahun, 7 tahun, bahkan ada yang seumur hidup.

"Puasa Dawud dengan cara pindah jadwal makan, maksudnya kalau pas tidak puasa diperbanyak makannya, masih lebih baik daripada tidak puasa," begitu kira-kira Kang Misbah pernah mengatakan kepada penulis.

Yang hampir jadi mitos mengenai Puasa Dawud ini, agaknya almaghfurlah KH Masrukhan Dahlan, salah satu keturunan langsung Sunan Kalijaga, yang pesantrennya di Demak dikenal dengan Pondok Wali. Hampir semua santri tradisional yang hendak menjalani Puasa Dawud merasa perlu memohon ijazah (doa-restu) kepada beliau.

Kisah Puasa Dawud di kalangan pesantren tradisional,, tentu takkan ada habisnya. Di kalangan santri modern, soal ini juga tak kalah serunya. Mungkin, Prof. Dr. M. Amien Rais, tokoh reformasi itu, adalah mitosnya Puasa Dawud di kalangan modernis. Beliau sejak duduk di bangku klas 5 Sekolah Dasar menjalankan Puasa Dawud, sampai tulisan ini dibuat (2008), artinya usia beliau sudah memasuki 70-an tahun, masih konsisten puasanya. Konsisten pula kabar kesehatannya (rasanya belum pernah kita mendengar beliau masuk rumah sakit).

Tentu, sehatnya Pak Amin Rais tersebut, mengingatkan kita kepada sabda Nabi SAW: kalian (banyaklah) berpuasa, maka kalian akan sehat. Jadi, banyak puasa itu kadang memang bikin masuk angin, tapi tidak kena penyakit yang gawat-gawat.

Sekarang ini, orang modern sudah banyak yang ikut-ikutan mengamalkan puasa Dawud. Malah, pakar pengobatan Prof.Dr. Hembing Wijaya pernah mengatakan, obat paling mujarab itu ya banyak puasa. Ini tentu sejalan dengan keyakinan yang diwariskan para ulama salaf seperti Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Imam Hambali sampai Imam Al Ghazali.

Adapun faedah lain memperbanyak puasa, seperti sudah kita ketahui yaitu: menyempurnakan puasa wajib, menghapus dosa, melatih kesabaran, memperpanjang usia, menarik rejeki, meningkatkan kecerdasan, menambah pesona sekaligus wibawa, mudah teringat akherat, menyulitkan syetan, membuat awet muda, gampang jodoh, banyak keturunan, dan lain-lain.

Perlu diingat, ketika kita hendak menjalani ibadah sunat seperti puasa Dawud ini, seyogyanya lebih dahulu kita konsultasi dengan ulama akherat yang betul-betul paham ilmu dan bijak. Itulah agaknya para santri memohon ijazah seperti kepada KH Masrukhan Dahlan di atas. Syetan itu, tidak hanya mengajak kita berbuat maksiat, tapi kadang juga menyuruh kita rajin beribadah untuk kemudian diagendakan ketersesatannya, na'udzubillah. (Abu Ayesa)