KEBERADAAN pesantren

Senin, 19 April 2010

KEBERADAAN pesantren, tak bisa lepas dari kondisi dan dinamika yang berkembang di masyarakat setempat. Apalagi bila melongok proses penyebaran Islam di Indonesia yang dirintis Walisanga, metodenya sangat lentur terhadap budaya dan dinamika yang terjadi. Drs KH Hamrolie Harun MSc mengatakan, keberadaan pesantren serta majelis dakwah tak bisa lepas dari budaya. "Pendekatan budaya merupakan strategi pesantren untuk menjalankan perannya di masyarakat. Peran utama pesantren adalah memberdayakan masyarakat. Terutama pemberdayaan nilai-nilai religius mereka", katanya. Menyadari betapa pentingnya peran budaya sebagai media pengembangan dakwah, pengasuh Majelis Mujahadah Al Fatah Sedayu Bantul ini selalu mengedepankan pendekatan budaya dalam membangun jaringan dakwah. Maka ketika Poco-poco sedang naik daun, Kiai Hamrolie mengajak para jamaahnya senam bersama. Kiai yang juga konsultan perpajakan ini menjelaskan, dulu ketika para wali berdakwah, pendekatannya dengan metode budaya. Ternyata, hasilnya luar biasa. Ini fakta yang tak bisa dipungkiri. Para santri Al Fatah juga diberi pemahaman tentang sejarah dan budaya. Bahkan mereka diajak napak tilas di tempat-tempat bersejarah. "Tujuannya agar mereka mewarisi semangat serta metode dakwah yang dijalankan para aulia", jelasnya. Wibie Mahardika, pengurus Majelis Mujahadah Jantika Mantab berpendapat, perkembangan dakwah tak bisa dilepaskan dari peran budaya. "Agama dan budaya itu ibarat sudah manunggal. Budaya sebagai perwujudan fisik. Sedangkan agama menjadi ruh yang menjiwai dan menyinari hati setiap umat", katanya. Santri kiai kharismatik Gus Mik (alm) ini menambahkan, budaya sangat dinamis dan penciptaannya selalu tak sempurna. Manusia sebagai pencipta budaya, selalu berikhtiar menyempurnakan karyanya. Maka ketika berdakwah dengan pendekatan budaya, harus pula fleksibel. Mengikuti perkembangan yang terjadi. Termasuk menyentuh budaya modern. "Semua sudah tersegmentasi. Antara budaya tradisional dan modern. Untuk mendekati komunitas modern, ya harus menggunakan budaya modern", katanya. Program yang diluncurkan Wibie dalam rangka berdakwah di masyarakat gaul adalah dengan Ashabul CafÈ. "Saat ini kafe identik dengan anak muda. Kita mencoba mengubah budaya kafe yang kadang ada sisi buruknya, menjadi kebiasaan yang positif dan religius. "Untuk intrance tidak harus dengan minum ekstasi. Ashabul Kafe mengajak orang bisa triping karena zikir. Bukan karena narkoba", jelasnya. MESKI berada dalam lingkup khusus (pesantren), santri tetap bagian dari masyarakat. Maka hal-hal yang dilakukan, di luar pembelajaran agama, tak lepas dari konvensi masyarakat pada umumnya. Bukan hal aneh jika pesantren juga mengusung hal-hal bernuansa seni budaya, untuk melengkapi materi dalam menggembleng mental dan kemampuan santri. Di Yogya, Pesantren Wahid Hasyim termasuk modern. Fokusnya membelajari santri dengan sistem klasikal. Santri belajar ilmu formal dan ilmu agama. Namun nilai-nilai budaya tetap diberikan. Kesenian hadrah, misalnya. Dalam sejarahnya, hadrah termasuk kesenian yang muncul dan besar di pesantren. Tidak aneh jika banyak pesantren sekarang, mewarisinya. Pun Pesantren Wahid Hasyim. Awalnya sebagai ajang berekspresi santri. Namun dalam perkembangannya, hadrah pesantren di Dusun Gaten Condongcatur Sleman ini bisa menjadi media dakwah yang efektif. Beberapa kali pentas di luar pesantren, di luar Yogya. Dan yang mengejutkan, sempat manggung di gereja. Dua kali. "Kita mendapat undangan. Ya, kita tampil di situ", ujar Ustadz Imam Chumedi S.Ag, wakil kepala madrasah diniyah Pesantren Wahid Hasyim. Pengembangan budaya di pesantren tersebut, jelas menguntungkan. Nama pesantren mumbul. Masyarakat jadi tahu, ternyata para santri juga mahir berkesenian. Di Pesantren Hasyim Asy'ari Bantul, nilai-nilai budaya berhembus kencang. Pindah lokasi (sebelumnya di Ring Road Utara, lalu di Minggiran Yogya) ke Cabeyan Sewon Bantul, makin mengental nuansa budaya di pesantren yang didirikan KH Zainal Arifin Thoha (alm) itu. Santri --yang mayoritas mahasiswa-- bisa berinteraksi sosial dengan masyarakat. Dan peristiwa budaya pun terjadi di situ, secara tidak langsung. Tidak sengaja. Dalam kurikulum pembelajaran, seni budaya menjadi salah satu andalan. Seperti di pesantren lain, awalnya hanya mengaji yang jadi fokus. Seiring bergulirnya waktu, seni budaya pun dibidik. Santri berkesenian. "Jika kesenian ada di sini, semata menampung bakat santri. Ekspresi positif mereka tersalurkan", ujar Maya Veri Oktavia, Dewan Pengasuh Pesantren Hasyim Asy'ari. Berbeda dengan pesantren pada umumnya --yang sering mengedepankan hadrah atau kasidah-- kesenian di Pesantren Hasyim Asy'ari selangkah lebih maju. "Memusikalisasikan puisi. Digarap bersama. Kadang mengangkat salawat", tambah Maya. Atmosfir seni budaya di Pesantren Hasyim Asy'ari, memunculkan banyak manfaat. Santri Hasyim Asy'ari banyak yang menjadi penulis: penyair, esais dan cerpenis. Karyanya tersebar di berbagai media. Fenomena ini tentu saja menyejukkan, plus membanggakan. Menurut Maya, ada santri yang awalnya tidak paham dunia sastra. Namun setelah berinteraksi dengan santri lain, ditambah 'terprovokasi' keberhasilan teman --karyanya dimuat media massa-- akhirnya ikut-ikutan belajar sastra. Realitas itu tentu saja patut distabilo. Pesantren lain rasanya juga perlu melakukan hal senada. Jika di pesantren sudah berhembus nuansa seni budaya, santri tentu akan tergiring mengikuti. Hal yang positif. Karena seni budaya merupakan ciri peradaban manusia. (o) n Daryanto/Latief

0 komentar: